ilustrasi AI |
Pesan Guru Kepada Muridnya
Kurikulum adalah teka-teki silang tanpa petunjuk, menyisakan kelas dengan kursi yang pincang dan orkestra kipas angin yang sumbang. Adalah saksi bisu mimpi-mimpi yang sering kali tersangkut di langit-langit yang bocor. Buku-buku pelajaran berdebu menggigil di pojok perpustakaan. Aku melihat papan tulis menayangkan mimpi-mimpi lama yang tak pernah selesai diperbarui. Di luar jendela, sinyal internet berkelahi dengan pohon beringin dan mangga; mereka tak tahu, di kelas itu proyektor hanya sebuah sesak nafas.
Anak-anakku, aku melihat layar 6 inch menyedot waktu seperti lubang hitam. TikTok, Instagram, Mobile Legend---mereka mengganti tugas membaca puisi dengan jogged pargoy, mengganti diskusi dengan komentar pendek yang berakhir dalam diam. Aku takut pada dunia yang mengukur manusia dari skincare dan make up tebal di wajah, dari kopi yang diminum di kafe mahal bersama pacar, dari peringkat di papan skor game online.
Aku mencoba mengajari pentingnya membaca, tapi algoritma lebih menarik perhatian daripada kalimat-kalimat Hemingway atau Chairil Anwar. Aku hanya bisa berdiri di antara gelak tawa dan foto selfie, bertanya-tanya apakah kalian tahu apa arti sebenarnya dari kebahagiaan.
Ada beban yang tak terlihat di pundak kami, gunung-gunung yang harus kami pikul setiap kali menuntut dokumen. Kami menyusun laporan lebih sibuk dengan angka-angka daripada wajah-wajah di depan kami. Tapi kata mereka, ikhlaslah, ini ibadah. Pengabdian harus tanpa tanda jasa.
Ada orang tua seperti hantu di rapat sekolah meninggalkan jejak tanda tangan di daftar kehadiran. Kalian menjadi perahu tanpa dayung, melawan arus tanpa arahan. Aku bertanya-tanya, “Siapa yang benar-benar menjadi gurumu? Dunia maya yang luas, atau aku yang terbatas di ruang kelas itu?”
Di tengah segala ini, kami berjalan di garis antara intimidasi dan kriminalisasi dari oknum yang mengatasnamakan demi anak bangsa. Pendidikan yang harusnya membebaskan, malah membelenggu ruang gerak kami.
Aku tak ingin kalian mengingatku hanya sebagai guru yang berdiri di depan kelas, mengulang pelajaran yang sama dari tahun ke tahun. Aku ingin kalian mengenangku sebagai suara yang mengajarkan bagaimana bermimpi, bagaimana mencintai, bagaimana bangkit meski dunia ini kadang tak adil.
Anak-anakku kelulusan itu bukan akhir. Dan ketika kalian melangkah pergi, jangan lupakan mereka yang pernah berdiri di belakang, menahan pintu agar kalian bisa melangkah keluar.
Muncar, 2024
Upacara Bendera di Hari Senin
Tiang bendera terdiam. Bau seragam senin pagi. Anak-anak berkumpul membentuk barisan. Tubuh-tubuh menunggu perintah.
(siap gerak) – (hormat gerak)
Bendera naik perlahan. Seperti seekor burung yang mencari arah. Tangan-tangan di dahi. Mata mereka berkeliaran. Kerutan sepatu hitam. Ikat pinggang berwarna hitam. Kaos kaki berwarna hitam. Terbungkus bayangan kelas-kelas dan rumput lapangan yang memantulkan matahari.
Lagu Indonesia Raya merambat ke langit. Ke dinding kelas yang retak. Menempel di pohon tua yang menahan ingatan masa lalu. Kaki-kaki hilang dari kalender. Meski mereka ingin duduk dan berbicara:
kami haus, matahari pagi ini terlalu barbar
Pidato kepala sekolah adalah dengungan mesin yang patah. Soal angka dan kewajiban. Di depan kelas itu. Pohon tua menyaksikan petugas yang lupa teks upacara.
Senin selalu begini. Selalu begitu. Mulut adalah spanduk tersangkut pagar. Telinga berbaris tanpa kepala. Anak-anak juga belajar. Menjadi hari-hari selain upacara.
Bendera berkibar di puncak tiang. Siapa yang mendengar. Suara-suara tidak tersampaikan. Mimpi terburu-buru berlari. Hari senin pagi pulang ke kelas.
Muncar, 2024
Anjir, Aku Terlambat!
Selamat pagi
kemana pukul 06.30
aku masih menggosok gigi kesiangan
gerbang tersisa 15 menit lagi
Menatap cermin. Bayangan lupa mengikat tali sepatu. Motor menyeret wajah dengan tergesa-gesa. Lampu merah lebih panjang dari lampu hijau. Aku tidak peduli lampu kuning. Tapi “waktu adalah uang”. Quotes instagram macet di perempatan jalan. Suara klakson berdesakan kehadiranku. Belok kiri jalan terus.
Anjir, minggir woy!
Selamat pagi
kemana pukul 07.00
aku masih membeli kopi sachet di warung madura
gerbang tersisa di sebelah barat
Kalau boleh, aku pinjam waktu. Sepatu ketinggalan napas. Aku menggosok gigi kesiangan. Kantor bukan sekadar tanya dan jawaban. Pagi ini. Pagi yang sebelum dan sesudah. Realitas secangkir kopi. Pukul 07.15 menyambut kehadiranku.
Anjir, aku terlambat lagi!
Muncar, 2024
Kami Tidak Bisa Menulis Puisi
Kami tidak bisa menulis puisi. Kalimat-kalimat tidak dimulai - selesai. Mesin-mesin lebih cepat dari mulut kami. Kami sibuk mengumpulkan malam dari layar ponsel. Tangan kami terjepit notifikasi dan iklan:
angka
suara pecah
air mata basi
Ponsel mendidih di kantong kami. Sejak ribuan hari yang lalu. Lidah bahasa berjatuhan di pasar malam. Kami lupa cara membaca bayangan dalam cup minuman kekinian. Cafe terus tumbuh menjadi kepala insomnia.
Kami tidak bisa menulis puisi. Bagaimana kode-kode hampa menyusun metafora. Puisi melompat dari cahaya bulan. Bahasa yang pernah kami hisap adalah asap vape.
kata-kata merangkak
di swalayan dengan harga promo
deretan komoditas
hitungan per suku kata
dari jumlah suka dan komentar
Kamus bahasa terbakar tanpa kipas angin. Kata-kata terkelupas dari sampul buku. Kami tidak bisa menulis puisi. Kemana ada bolpoin. Jari-jari kami membeku di atas keyboard. Menjahit mimpi yang putus sejak digital pertama.
kami tidak bisa menulis puisi
kesunyian tidak mengenal malam
kami mendengar algoritma
menghitung - sampai selamanya
Muncar, 2024
Workshop Kurikulum Merdeka
BUANG PAPAN TULIS!
BUANG PAPAN TULIS!
Boardmarker kehabisan tinta
presentasi masih memesan proyektor
siapa yang merdeka?
buku panduan tersedak di lembar ketiga
--- judul: revisi inovasi dan kekosongan
literasi adalah menghapus memori sebelum istirahat kedua
guru menyusun pelajaran
dari serpihan powerpoint
peserta didik melarikan diri
dari CP dan ATP yang tak bisa di-klik
assessment! Assessment!
(mereka bilang, ini soal angka)
catatan hilang dari logika google classroom
merdeka dari siapa, merdeka ke mana?
slide yang tak kunjung tiba
presentasi masih memesan proyektor
tiket evaluasi: siapa yang tersisa di sini?
apakah kamu sudah belajar soal kecerdasan buatan?
refleksi tercecer di lantai
peserta didik belajar dari tagar
kitabelajarpadajaringan (dan) sinyalyangmati
Muncar, 2024