37 Tahun yang Bernafas
Sebuah
fosil bernyanyi di dalam kerongkongan desa. Selusin sungai waktu retak seperti
paru-paru yang tak pernah selesai memahami usia. Hela nafas adalah kereta api
kehilangan rel. Di sudut stasiun, sepasang sandal jepit menghisap rokok. Abunya
berjatuhan menjadi google maps. Menuju tempat hujan berhenti bernama.
Jalan
makadam terasa seperti lidah yang menyimpan rahasia. Bekas langkah kaki adalah
huruf-huruf yang lupa mengeja jalan pulang. Udara mengigil. Menatap potongan
tubuhku yang bercerai. Aku mencatat nafasku. Angka-angka melarikan diri. Ketika
kepalaku kotak masuk whatsapp. Pesan-pesan tanpa amplop memenuhi memori 64
gigabyte. Notifikasi bergetar mencari sinyal 5G. Lagu ambyar. Berita perang.
Atau dengung listrik yang belum mengisi token.
Burung-burung
terbang dari dadaku. Meningggalkan sarang 37 musim kemarau. Siapa yang
mengetik? Siapa yang membaca? Seribu bayangan wajah selalu lahir dari kebakaran
hutan. Aku menghitung detik yang melompati tubuhku. Huruf-huruf doa
bergelantungan di ujung jalan. Lampu berkedip. Mimpi yang ketakutan. Antara tubuhku
dan dunia yang terus berlari.
Muncar, 2025