ilustrasi AI |
Kurikulum adalah teka-teki silang tanpa petunjuk, menyisakan kelas dengan kursi yang pincang dan orkestra kipas angin yang sumbang. Adalah saksi bisu mimpi-mimpi yang sering kali tersangkut di langit-langit yang bocor. Buku-buku pelajaran berdebu menggigil di pojok perpustakaan. Aku melihat papan tulis menayangkan mimpi-mimpi lama yang tak pernah selesai diperbarui. Di luar jendela, sinyal internet berkelahi dengan pohon beringin dan mangga; mereka tak tahu, di kelas itu proyektor hanya sebuah sesak nafas.
Anak-anakku, aku melihat layar 6 inch menyedot waktu seperti lubang hitam. TikTok, Instagram, Mobile Legend---mereka mengganti tugas membaca puisi dengan jogged pargoy, mengganti diskusi dengan komentar pendek yang berakhir dalam diam. Aku takut pada dunia yang mengukur manusia dari skincare dan make up tebal di wajah, dari kopi yang diminum di kafe mahal bersama pacar, dari peringkat di papan skor game online.
Aku mencoba mengajari pentingnya membaca, tapi algoritma lebih menarik perhatian daripada kalimat-kalimat Hemingway atau Chairil Anwar. Aku hanya bisa berdiri di antara gelak tawa dan foto selfie, bertanya-tanya apakah kalian tahu apa arti sebenarnya dari kebahagiaan.
Ada beban yang tak terlihat di pundak kami, gunung-gunung yang harus kami pikul setiap kali menuntut dokumen. Kami menyusun laporan lebih sibuk dengan angka-angka daripada wajah-wajah di depan kami. Tapi kata mereka, ikhlaslah, ini ibadah. Pengabdian harus tanpa tanda jasa.
Ada orang tua seperti hantu di rapat sekolah meninggalkan jejak tanda tangan di daftar kehadiran. Kalian menjadi perahu tanpa dayung, melawan arus tanpa arahan. Aku bertanya-tanya, “Siapa yang benar-benar menjadi gurumu? Dunia maya yang luas, atau aku yang terbatas di ruang kelas itu?”
Di tengah segala ini, kami berjalan di garis antara intimidasi dan kriminalisasi dari oknum yang mengatasnamakan demi anak bangsa. Pendidikan yang harusnya membebaskan, malah membelenggu ruang gerak kami.
Aku tak ingin kalian mengingatku hanya sebagai guru yang berdiri di depan kelas, mengulang pelajaran yang sama dari tahun ke tahun. Aku ingin kalian mengenangku sebagai suara yang mengajarkan bagaimana bermimpi, bagaimana mencintai, bagaimana bangkit meski dunia ini kadang tak adil.
Anak-anakku kelulusan itu bukan akhir. Dan ketika kalian melangkah pergi, jangan lupakan mereka yang pernah berdiri di belakang, menahan pintu agar kalian bisa melangkah keluar.
Muncar, 2024
kami haus, matahari pagi ini terlalu barbar