08/04/2020
KESUNYIAN DI RAMBUTNYA YANG UNGU
KESUNYIAN DI RAMBUTNYA YANG UNGU
Ia telah merawat kesunyian di rambutnya yang ungu. Apalah lampu-lampu itu. Ia tak silau.
Dan riwayat puisi-puisi. Bahasa mata yang menyimpan naga.
: aku mabuk sendiri.
Ia tetap berjalan pada musim hujan. Juga kemarau. Entah, berapa helai rambutnya yang rontok.
Ia masih merawat kesunyian. Rumpang dadanya bukan sepotong apel.
(Muncar, 080420)
04/04/2020
KETAKUTAN
Poto dari Pinterest
KETAKUTAN
Tak ada lagi kecuali ketakutan. Bayangan membawa pedang. Menyerupai siapa saja. Seakan mengintai. Langkah yang panik dan curiga. Ketika keluar rumah.
Pikiran digiring, membebek pada kebenaran yang rancu.
Bayangan membawa pedang. Menyerupai siapa saja. Seakan mengejar. Membunuh. Langkah yang panik dan curiga. Ketika keluar rumah.
Ketakutan diciptakan untuk menguasai kemanusiaan.
(Muncar, 040420)
DUDUKLAH
Poto dari Pinterest
DUDUKLAH
Duduklah, kita tunggu
memang purnama belum tampak
tetapi malam tak sedingin
dan segelap yang kau kira
Pada waktunya purnama itu
akan lahir dari rahim doa
melengkapi musim berikutnya
Aku pun sepertimu
meski kata-kata jarang terucap
Kita belum apa-apa
tak perlu menghitung kesabaran
semusim percintaan
Duduklah, kita tunggu
dengan rasa rindu
meneguk secangkir cinta
bersama-sama
(Muncar, 040420)
03/04/2020
ANTOLOGI PUISI SASTRA TIMUR JAWA "RISALAH TUBUH DI LADANG KEMARAU" TAHUN 2019
BLAMBANGAN
Aku masih mencium
aroma keganjilan
Bunga-bunga kelapa dan tebu
beterbangan di jalan
Aku juga memunguti reruntuhan
tembok dan bukit
berserakan di persawahan
Damarwulan meretas purnama
Wahita - Puyengan menangkap cahaya
asmara tumbuh bersimbah luka
Jejak pengkhianatan mereka
lebam dan Wungu
menilas di sekujur tubuh
dan celakalah Menak Jingga
jiwanya menggigil
tubuhnya menyulam sepi
kepalanya terpenggal
oleh Gada Wesi Kuning
Anyir darah muncrat
meluap ke Kali Wagud
Mengejakal sebagai cerita
yang diyakini keberadaannya
: Blambangan menyempit
menjadi sebuah desa
(Muncar, 2019)
*Blambangan, nama desa di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi
KEDUNGGEBANG
Berenang ke alir Setail
yang tiga kali
berpindah muara
aku temui diriku bermukim di situ
Di sebuah palung
wajah moyang sulit dikenali
aku tetap bersitahan
menghirup udara di rimbunan
pohon gebang
Hutan-hutan
tak menyisakan jejak
Semak Tanggulasri
terlantar dari catatan sejarah
Sawah-sawah dikeruk menjadi ceruk
lalu diolah menjadi pecah genting
yang berserakan pada halaman rumah
juga padi yang menguning meninggalkannya
maka tumbuhlah jeruk dan buah naga
Aku tak diwarisi apa-apa
kecuali puisi-puisi
yang ku tanak di dalam panci mimpi
menjadi keramaian,
palung sumur, dan tiga bendungan kecil
yang melintas pada suatu dusun
O, namun mangrove-mangrove
di timur desa
tempat burung-burung berkasih teduh
dan ikan-ikan bertelur
luput ku peluk
sebagai harapan masa depan
bagi anak cucu kami
(Muncar, 2019)
*Kedunggebang, nama desa di Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi.
** Pohon Gebang, tanaman sejenis palem.
LOPAMPANG
Laut resah
menggembalakan ikan-ikan
di relung paling dalam
Sejak tembok
yang mengelilingi kota
diruntuhkan
oleh serdadu bermata biru
sedangkan pelabuhan purba
hanya menjadi perayaan luka
para nelayan
menepikan perahu-perahu
yang menunggu angin
untuk membawanya kembali
mengarungi laut
Laut itu semakin resah
sejak sejarah dibakar
dan dipindahkan
ke kota yang baru
sedangkan pelabuhan purba
hanya menjadi perayaan duka
para nelayan
yang menguburkan bangkai-bangkai ikan
di matanya yang nanar
tetapi di balik bukit,
gunung berapi tertidur pulas
menyimpan muntahan
yang sewaktu-waktu
akan dilepaskan
(Muncar, 2019)
SEDEKAH PUISI UNTUKMU BANYUWANGI (DALAM RANGKA HARJABA KE-248 TAHUN 2019)
BERSOLEK
Orang-orang meminum
seribu cangkir kopi di Kampung Kemiren
udaranya dingin
menusuk ingatan kekasih
tentang musik jazz
yang dimainkan di Boom
Orang-orang juga menata ulang
puing-puing budaya
melalui rancangan kostum BEC
yang berlenggak-lenggok
di jalanan kota
Setara perayaan
yang mengobati kesedihan
seberapa jauh dan tinggi
burung baja raksasa
yang bersarang di Blimbingsari
terbang mengantarkan para tamu
yang datang dan pergi
Perahu hias melaju
dari kanal Bangorejo
menjemput harapan
penyanyi lagu Banyuwangian
yang terlarut dalam arus globalisasi
Aku tertegun,
orang-orang melarung resah
dengan bitek ke Laut Muncar,
Grajagan, dan Pancer
agar ikan segera melimpah
memenuhi laut yang kalut
sedang Tumpang Pitu termangu
menatap ombak
Tapi jangan khawatir
jaranan butha
akan terus menari
mendampingi seribu gandrung
di panggung modern
O, puisi
menulis senyum Lembah Ijen
semanis coklat Glenmore
selezat pecel pitik
senikmat rujak soto
para bakul berselimut gajah oling
dibatik dengan kecemasan
Merdu angklung
akan tetap terdengar
selama bambu-bambu di Gintangan
terjaga Seblang Olehsari-Bakungan
Kebo Alasmalang-Aliyan
Berdiri di barisan depan
mengusir malapetaka
Orang-orang Kalibaru
masih setia dengan dandangnya
seorang ibu
tak akan pernah kehabisan alasan
untuk menanak nasi tumpeng
yang akan diarak
mengelilingi kampung
Namun aspal yang dilewati ITDB
mengelupas dari jalanan
lahan-lahan kosong
ditanami pohon-pohon beton
Banyuwangi bersolek wajah festival
: esok entah bagaimana
aku tak tahu kelanjutannya
(Muncar, 2019)
HUSSS
Mantra-mantra telah ditebar
di sepanjang jalan
kota yang melahirkan penari
disihir menyingkirkan sepi
: gemerlap kota memuja keramaian
Mantra-mantra telah ditebar
di sepanjang jalan
kota menumbuhkan bunga harapan
yang dulu beringsut dan kusut.
: keindahan kota mendamba tepuk tangan
Mantra-mantra telah ditebar
di sepanjang jalan
Aku masih mengutuki keadaan
kotaku bermetamorfosa untuk siapa
: husss
(Muncar, 2019)
POTONGAN SEPI
Sesekali tengoklah
ke lorong-lorong yang lampunya
masih redup
agar potong sepi tak tumbuh lebat
memenuhi kenangan
yang setia dirawat oleh puisi-puisi
Bukankah kota ini sedang bersolek, An
Jangan kau melewatkannya
karena lorong-lorong itu
yang mengantarkanmu pada keramaian
juga pada gedung cahaya
Bukankah kota ini sedang bersolek, An
Sebagai awal mula
yang dilahirkan dari potongan sepi
jangan biarkan lorong-lorong itu
lampunya tambah meredup
agar kau tetap hidup dalam kenangan
yang selalu ramai
dirawat oleh puisi-puisi
Bukankah kota ini sedang bersolek, An
(Muncar, 2019)
SEUSAI PESTA
Mengemas sisa kemeriahan
kita berjalan pulang
bau parfummu
menyeruak ke luar udara
ditangkap angin
dari segala penjuru
Sesampainya di rumah
kita letakkan
sisa kemeriahan itu
pada buku catatan harian
musik pesta bergetar
di dadamu
lampu-lampu nyala
di kepalaku
sedang malam
memeram kesedihan
di saku baju dan celanaku
(Muncar, 2019)
31/03/2020
PARADOKS KECEMASAN
Tidak semua terbiasa sesepi ini
tetapi ada yang harus aku jaga
selain diri sendiri
setelah harapan dan mimpi mungil
yang belum sempat aku genggam
tertinggal di hari kemarin
Aku cuma bisa mengutuki
bagaimana kesibukan dibungkam
jalan-jalan lengang
orang-orang mengunci diri
ke sebuah ruang sunyi
Keadaan tidak pernah sama
dari waktu ke waktu
akan terus berubah
meski kecemasan selalu datang
tidak untuk saat ini saja
Tuhan pasti tahu
(Muncar, 310320)
30/03/2020
COVID-19
COVID-19
Udara di luar
telah dikepung cemas
kesibukan meninggalkan jalanan
rumah adalah tempat
yang nyaman
untuk menimbun doa-doa
kita jangan tanyakan
pertemuan
: sekarang
Meski sepi kita
seperti bunga kamboja
mengantar doa doa
dalam simpang siur suara
kita jangan tanyakan
pertemuan
: sekarang
sebab udara di luar
masih dikepung cemas
(Muncar, 300320)
Langganan:
Postingan (Atom)
CATATAN AGUSTUS 2024
ilustrasi AI REVIEW KUPULANGKAN KEPERGIAN untuk Nadira Andalibtha Sekumpulan puisi sedang asyik mengetik dirinya sendiri. Cafe yan...
-
ilustrasi dari AI Masuk – Keluar di Stasiun Rogojampi aku dengan koper masuk - keluar di stasiun Rogojampi bayangan berloncatan dari ti...
-
Ke Yogyakarta Aku datang ke Yogyakarta mengendarai google dengan kecepatan 72 Mbps tiba di angkringan sejarah wikipedia aku ...