02/05/2020

MEMPERINGATI MEI


Memperingati Mei


1/
Butir-butir keringat menguap. Katanya ada surga yang akan menampung. Menjadi sungai susu. Di dunia, orang-orang adalah robot. Lehernya dicekik upah. Seorang penyair berbicara keadilan. Mati tersumpal kebutuhan. Terkubur di makam puisi. 

2/
Kemudian, retorika pendidikan menawarkan harapan. Jaminan masa depan. Matahari akan terbit dari kepala. Setelah mengunyah buku-buku. Anak-anak malah terasing dari gedung sekolahan. Perutnya kenyang mencerna realitas kehidupan.


(Muncar, 020520)

26/04/2020

BERINGSUT


Beringsut


Mataku terjaga. Beringsut ke dalam akuarium. Aku melihat seorang bayi laki-laki tersenyum. Seperti memanggilku bapak.

Tiba-tiba lampu mati.

Aku terlempar ke sebuah gelap. Kemudian meminjam pisau istriku untuk memecah sunyi. Menyingkirkan kecemasan yang selalu membuncah di kepala.

Musim ini masih asing

yang ditunggu belum tiba lagi. Aku terlempar ke sebuah gelap. Dalam semakin dalam. Dan istriku memanggil panggil namaku.


(Muncar, 260420)

18/04/2020

MENERJEMAHKAN SETELAH PERTEMUAN



Menerjemahkan Setelah Pertemuan 


Selamat datang kembali. 

Wajah-wajah begitu samar. Kereta telah melaju. Untuk apa kau mengejarnya? Sambil menahan lelah. Kau hanya akan mendapat bayangannya dari kejauhan.

Sebagaimanapun kau menyangkal. Resah dan gelisah itu perlahan tumbuh. Harapan. Keinginan. Mimpi. Tidak seperti lampu sorot di atas panggung.

Mungkin di sana, pertemuan dengan orang-orang itu berhasil membunuh sunyi. Tepuk tangan yang gemar menyapa. Adalah buaian-buaian sesaat.

Selamat datang kembali.

Di sini, mungkin kau harus memulai lagi. Dari awal. Tidak membunuh sunyi. Tidak menyemai keramaian. Sebab apa yang kau cari ada pada dirimu sendiri. 

Maka kenalilah!


(Muncar, 180420)

16/04/2020

FUS


Fus


Di rumah kecil itu. Tawa ganjil. Lumut-lumut perak. Merawat tangis yang terperam dari luka purba.

Ia memunguti daun-daun kersen yang berjatuhan di halaman. Begitu juga aku, belajar mencerna kata-kata miliknya.

"Malam jalang, tiga orang lelaki memanah rembulan".

Puisi-puisi sungsang. Gaduh di teras rumah. Berkejaran dengan kenyataan. O, derita begitu nikmat.

Warna semburat melukis wajahku. Tetapi ia bersikeras menuntunku ke alamat puisi.


(Kedunggebang, 160420)

14/04/2020

LESU



Lesu


Sepasang bola mata terlepas dari lubang keramaian. Burung-burung itu kemudian leluasa membawa berita kematian.

Lesu darah. Matahari pucat.

Langkah kaki tak mau sekongkol. Luka dan kawanannya betah tinggal di dada yang sesak.

Udara beracun menyebar ke seluruh kota. Kemana lagi gairah akan menghuni harapan.

Di surga, kebun apel meranggas. Sungai susu coklat mengering. Konon yang tersisa hanya neraka.

Membakar kamar-kamar kita.


(Kedunggebang, 140420)

12/04/2020

MEMORIES



Memories
untuk anak - anakku


Masih ku simpan di museum ingatan. Kebersamaan yang telah berganti. Tak akan menghapus masa-masa sulit. Jatuh tersungkur. Di kedalaman luka tanah asing. Aku hanya sebuah puisi. Begitu singkat menemani kalian. Belajar mengeja angka dan huruf kehidupan. O, masa. Berlembar-lembar matahari menggelinding terbit dan tenggelam. Kalian sekarang tak lagi bermain petak umpet.


(Muncar, 120420)

11/04/2020

JENDELA TUA


Jendela Tua


Menjelang sore. Aku mengintip dari kaca jendela tua. Bayangan anak-anak seperti diriku. Menimbun kenangan. Sepotong es krim meleleh bersama hujan. Tak ada payung. Tak ada yang menari.

Butir-butir hujan berkelindan. Halaman basah. Rumput-rumput liar membuka dada. Menerima dingin.

Aku mengintip dari kaca jendela tua. Tak ada pohon jambu air. Tetapi suara nenek masih terdengar. Menanam keniscayaan di belakang rumah. Bayangan anak-anak seperti kakakku. Membeli krupuk untuk lauk makan malam.

Waktu semakin berkarat. Angin tak lagi menerbangkan layang-layang. Capung bersarang di mata ibu yang kecoklatan. Bapak menyanyikan batuk dari dahi yang mengeriput.


(Kedunggebang, 110420)

CATATAN AGUSTUS 2024

  ilustrasi AI REVIEW KUPULANGKAN KEPERGIAN untuk Nadira Andalibtha   Sekumpulan puisi sedang asyik mengetik dirinya sendiri. Cafe yan...