31/12/2020

UNGU


UNGU
: doa akhir tahun

Langit ungu matamu
sebentang doa
meski hujan luruh
malam itu berdiskusi
dengan kemungkinan
dan ketidakmungkinan
tentu gelap menjahit gigil tubuh
tentang pertanyaan-pertanyaan
yang akan terjawab
ketika purnama
menghembuskan napas
serta bunga-bunga merekah
di kebun jiwamu
langit ungu matamu
sebentang doa 
sebagaimana hari-hari
menanam biji-biji harapan
keyakinan melihat senyum itu
di pelukan kita

(Muncar, 311220)

29/12/2020

DINAMIKA JATI DIRI


DINAMIKA JATI DIRI

Sebelum mereka bicara
aku pernah bunuh diri
menusukkan puisi-puisi
ke dadaku
dalam ruang pengap
puisi-puisi seperti jarum jam
mengitari angka-angka
huruf-huruf
tak berwajah
tak bermakna
darah luka
disamar mesin waktu
tak bisa berhenti
dan aku kembali
dalam ruang pengap itu
menusukkan puisi-puisi
ke dadaku
dengan bayang-bayang


(Damtelu, 291220)

24/12/2020

KE SEBERANG TIGA PULUH TIGA


KE SEBERANG TIGA PULUH TIGA

Kamis yang sore
tiga puluh tiga tersimpan 
pada kalender
di tembok rumahku
mengenang segumpal daging
tanpa tangis
dengan tubuh biru
menatap ke seberang tiga puluh tiga
apakah angka-angka
masih tersimpan pada kalender
di tembok rumahku
ketabahan adalah ibu
dan bapak
mengantar rangkaian puisi
kepada Tuhan

(Muncar, 241220)

15/12/2020

HILANG DARI DAFTAR MENU


HILANG DARI DAFTAR MENU

Berulang aku datang kepadamu
membaca daftar menu
lalu memesan diriku sendiri
dengan kebiasaan ganjil
aku lupa atau aku tak ingat
aku memesan seperti bukan aku
berulang aku datang kepadamu
membaca lagi daftar menu
lalu memesan diriku sendiri
dengan kebiasaan genap
aku lupa atau aku tak ingat
untuk apa aku memesan diriku sendiri
yang ternyata hilang dari daftar menu

(Muncar, 151220)

BEKERJA TANPA CELANA DALAM


BEKERJA TANPA CELANA DALAM

Bekerja tanpa celana dalam
menghitung jumlah kursi
yang berbaris di kepala
berhitung selesai

Siap gerak

Lencang depan

Lencang belakang

Setengah lencang kanan

Setengah lencang kiri

Lencang kanan

Lencang kiri

Hadap kanan

Hadap kiri

Balik kanan

Balik kiri

Jalan di tempat

Istirahat di tempat

Siap

Hormat

Tegak gerak

Maju jalan


(Muncar, Desember 2020)

27/11/2020

DOA PADA ATAP YANG MIRING


DOA PADA ATAP YANG MIRING

Ada yang kita tunggu
kemarau
hujan
pada atap
yang miring
doaku
doamu
doa kita
musim keluar
dari perhitungan kalender

Ada yang kita tunggu
sesabar apakah
melewati musim
daun-daun
yang gugur
daun-daun
yang tumbuh

Ada yang terus
kita tunggu
pada atap yang miring
doaku
doamu
doa kita
mengalir
ditampung
rahim semesta

(Damtelu, 271120)

24/11/2020

DUNIA HUJAN


DUNIA HUJAN

Anak kecil
menciptakan
dunia
dari hujan
yang tak mampu
ditampung
selokan
tanpa perahu kertas
dan gedebog pisang
dengan memanggil
teman-temannya
yang gigil
berjalan
dari gang
ke gang
mencari
masa depan
yang disambut
revolusi 4.0

(Muncar, 241120)

23/11/2020

SEBAGAIMANA JENDELA


SEBAGAIMANA JENDELA

Meminjam sunyimu
aku gagal mengenalinya
lantas yang tumbuh adalah doa
sebagaimana jendela
membuka kedua daun
dan udara leluasa meniupkan nafas
pada ruang pengap

lalu
kita
merawat
pertemuan
ketika
cahaya
membikin
asing
gigil
dan
nyeri
seluruh
tubuh

Doa akan terus tumbuh
memenuhi dada yang miring
dengan nasib
sebagaimana jendela
membuka kedua daun
dan udara leluasa meniupkan nafas
pada ruang pengap

(Muncar, 231120)

19/11/2020

SEORANG FUS


SEORANG FUS 

Membacamu, membaca tragedi winka sihka
yang terlantar di parkiran kampus
dihimpit motor dan harapan
daun-daun kering berserakan
hujan datang hujan pergi
terik datang terik pergi
doa-doa menguap sepanjang lorong
bertemu kambing, 
pengemis, dan penjaja makanan keliling

Membacamu, membaca plung
yang dibuang ke toilet
seorang perempuan tanpa wajah
tiba-tiba membuka pintu 
menyanyikan towel-towelnya naif
di ayunan anak-anak
menghitung bintang di langit yang biru

Membacamu, alangkah membaca tahu tek
dan nasi goreng merah muda
lelaki berkepala gundul
memanah rembulan di jalan jawa
kuda terbang menabrak dada kekasih
yang tak bisa tidur
dari malam menembus pagi

Membacamu, membaca metode
telur mata sapi yang melirik ke kanan atau ke kiri
menjadi puisi kelapa muda
menjadi drama menghisap sampoerna mild
menjadi nyanyian murai
menjadi musik dapur beratap bocor
yang tak pernah selesai ditafsirkan
oleh siapa-siapa

Membacamu, membaca seorang suami dan bapak. 

(Muncar, 191120) 
Foto Fusliyanto Ayahyayakrizalmira

SEORANG FATAH


SEORANG FATAH 

Ia menulis gagasan hujan
di perempatan Singotrunan
dengan sepi
dengan sunyi
dengan hidung pemberian tuhan
puisi-puisi nafas
kretek sampoerna hijau dalam pipa
monolog menggoreng kerupuk ikan
berenang ke laut android
seperti gadis kecil bermata mangga
menggambar kerut wajah
sambil tertawa
bersembunyi pada catatan rindu
di sebuah warung
ketika matahari beranjak
ke selakangan
tak ragu menyeduh kopi
juga terselip pesan
menulislah!

(Muncar, 191120)
Foto Fatah Yasin Noor

18/11/2020

SEORANG FIQ


SEORANG FIQ 

Segelas kopi pahit
tentu cara meredam lampu-lampu
di kepalanya
menulis puisi-esai-cerita
aroma bawang putih
yang tak harus menjadi pasar
tak ada yang lebih sabar
kecuali merawat bonsai
ia menyimpan sunyi
dalam jaket hitam
dan buku catatan usang
masa kanak
mengejar layangan
ke hutan doa
bibirnya menghitam
karib dengan asap tembakau
menyimpan teka-teki sunyi
lipatan nasib berkarat
seorang petani
lahir dari rahim sungai

(Muncar, 181120)
Foto Fiq

16/11/2020

MANTRA BATU


MANTRA BATU

Batu bertemu batu
Prak. Prak. Prak
Batu pecah
Menjadi batu
Tetap batu

Aku batu
Kau batu
Kita batu
Kami batu
Mereka batu

Batu aku
Batu kau
Batu kita
Batu kami
Batu mereka

Darah batu. Otak batu. Kepala batu. Mata batu. Hidung batu. Telinga batu. Bibir batu. Lidah batu. Leher batu. Dada batu. Perut batu. Tangan batu. Kaki batu. Pantat batu. Dubur batu. Kelamin batu. Napas batu. Tahi batu. Upil batu. Kencing batu. Sperma batu. Rahim batu. Anak batu. 

Batu bertemu batu
Prak. Prak. Prak
Batu pecah
Menjadi batu
Tetap batu

Batu
Batu
Batu

Prak. Prak. Prak. 

(Muncar, 161120)
Poto Ahmad Annajmuz Sakib

14/11/2020

TUBUH BADAI


TUBUH BADAI

"Leluhurku berbantal ombak
berselimut angin
selamanya sepanjang malam"

Kau dengar lagu ole olang itu? 

Bahasa rasi bintang
nyala di dada langit 
malam adalah waktu berenang
memasak badai di tubuhku
Kapal-kapal dengan nyawa madura
mengalirkan garam di pembuluh
aku menggadaikan kepala
kepada laut yang mengasuhku
bau amis tuhan sangat karib
antara ikan-ikan dan rumah
yang menungguku pulang

"Leluhurku berbantal ombak
berselimut angin
selamanya sepanjang malam"

Kau dengar lagu ole olang itu?

(Muncar, 141120)
📸 Syamsul Pranata II

11/11/2020

PANTAI HITAM


PANTAI HITAM

Di tikungan pantai 
bau hitam seperti matahari meleleh
bintang-bintang jatuh
menjadi pasir-pasir resah
Aku memunguti tumpukan bayangan
rembulan di sela perayaan kesedihan
ada senyum yang menyilau
tanpa lampu-lampu tanpa dirimu
Kemungkinan-kemungkinan lain
yang bermukim di tubuhku
apakah kau juga
leluhur batu-batu 
menjaga pantai luka
yang dipeluk ombak 

(Kalimoro, 111120)
📸 Syamsul Pranata II

09/11/2020

MENCUCI SOPHIYAH


MENCUCI SOPHIYAH

malam ibu mencuci Sophiyah pukul 19.30
gigil disembunyikan raut wajah
indeks airmata tak bisa dihitung oleh siapapun
lembar-lembar kesedihan
mengetuk pintu dan jendela tua
berhimpitan dengan napas bapak
yang tersimpan di sebuah baju
merupakan akses tamasya menuju poto-poto
pada dinding lorong gelap itu
malam ibu setelah mencuci Sophiyah pukul 19.30
ada rekaman percakapan sungai di ruang tamu

(Muncar, 091120)

TOUR RUANG TUNGGU


TOUR RUANG TUNGGU 

"Selamat malam duhai kekasih
panggillah namaku menjelang tidurmu"

ingatanku tumbuh lebat
di kursi ruang tamu
menyanyikan buah mangga
yang jatuh dari pohon depan rumah
panggilan kartu pos
seseorang sepi
menebang pohon mangga itu
lalu menghanyutkannya ke sungai
sambil berak
kata-kata kangen
tak bisa diterjemahkan
sepasang pengantin
memandikan ingatan
ke lubang kelamin
seseorang sepi
menggeser derit kursi
menjadi ingatan
yang menggamit doa-doa telanjang
ruang tamu ada tour ruang tunggu seorang ibu

"Bawalah daku dalam mimpi yang indah
di malam yang dingin sesunyi ini"

(Muncar, 091120)
📸 Fatah Yasin Noor
*Lagu "Selamat Malam" dipopulerkan Evie Tamala

27/10/2020

NARASI PENDEK SITIHINGGIL


NARASI PENDEK SITIHINGGIL

Di tanah tinggi
arsip-arsip membatu
VOC mengintai
dan menyergap kapal kongsi Inggris
Antara sejarah rempah-rempah dan opium
mitos interview sesajen
jejak Menak Jingga yang amis
seperti ikan-ikan di Pelabuhan Ulupampang
Madura tak akan habis di situ
Jawa, Cina, Bugis, Arab
meramaikan pasar Muncar
membungkam gedung bioskop
di pojok jalan raya

(Muncar, 271020)
📸 Izzat Ramsi

15/10/2020

DARI LORONG KE LORONG


DARI LORONG KE LORONG

Mencatat pertemuan
dari lorong ke lorong
Entah berapa banyak huruf
yang kesepian
Dada adalah rumah
dan tempat pementasan
yang nyaman bagi puisi
Saat ini
aku seperti berjalan sendiri
tapi denyut jantung kita
masih terasa
Mengantar dari lorong ke lorong
kehidupan kita masing-masing

📸 Ahmad Muzakky El Fayed bersama Komunitas Lorong Sastra di Kampoeng Ekspresi Curahpacul - Tambakrejo - Muncar tahun 2017

14/10/2020

FATAMORGANA ANGKA


FATAMORGANA ANGKA

Oktober bunting dan sebuah stasiun
tanpa rambu kelahiran bayi
gerbong kereta, peron, 
bangku-bangku kosong bosan
Ingatan jarum jam berputar
1/2 angka mengelupas
ada hujan yang kering
di punggung sungai ibu

Jendela berkabut
keniscayaan bukan dari harapan
derap sepatu atau seragam rapi
mereka atau bukan siapa-siapa
tetap berada pada gerbong kereta,
peron, bangku-bangku kosong bosan
setiap pagi dicuci deterjen

1/2 angka mengelupas
semakin deras dan culas

(Muncar, 141020)

13/10/2020

DISKUSI


DISKUSI

Bukan aku tapi kita
lumut-lumut berumah
di kepala
Apakah kita masih kasmaran 
diskusi batu-batu sungai
air yang mengalir
daun-daun bambu bergoyang
ditiup angin resah
Seorang lelaki
selalu datang membawa kesunyian
kita membaca dari wajahnya
yang tertawa
Terkadang kita seolah-olah mengerti
untuk apa kesunyian itu
kita baca
dan menulisnya kembali
pada beringsut waktu
lalu meninggalkannya
di tengah hutan keramaian 

(Muncar, 131020)
📸 Diskusi dengan Taufiq Wr. Hidayat (Fiq) bersama Komunitas Lorong Sastra tahun 2017 di Kampoeng Ekspresi Curahpacul - Tambakrejo - Muncar.

07/10/2020

MEMOAR


MEMOAR 


Mengeja aroma 2017

Rembulan memar

mencuri identitas tanpa alamat

Pohon alfabet terlalu berkarat

di bangku sekolahan

Sebelum itu

koran telah menampung nama-nama

sebagai surat tanpa pewaris

Kita hanya disuapi

dengan bilangan ganjil - genap

dari mimpi kolonial

2017 masih merawat kesunyian

pada halaman facebook

Tentang siapa dan apa

pertemuan itu ada


(Muncar, 071020)

📸 Pertunjukan Naskah "Curut" karya Laily Nur Habibah oleh Komunitas Lorong Sastra di Kampoeng Ekspresi Curahpacul - Tambakrejo - Muncar tahun 2017

06/10/2020

ALARM


ALARM

Setelah pintu itu terbuka untuk siapa saja
Seorang kawan
memberanikan diri menusuk dadaku
Aku menerimanya
Seperti alarm yang membangunkan kesadaran
bahwasanya puisi terlepas
dari jalur kesunyian 
Dan seorang kawan
memang seharusnya ada untuk menusuk dadaku
sebab keramaian adalah hegemoni mimpi
merangkak menuju langit
selanjutnya menjatuhkanku ke bumi
lalu mati sendiri

(Muncar, 051020)

08/08/2020

O



O


O, sepi menyelinap dalam ramai

O, ramai menyelinap dalam sepi


Aku belum menemukanmu. Di antara sepi. Di antara ramai. Di antara butiran gula jatuh berserakan di lantai. Di antara racun mengental di sendok dan garpu. Lalu siapa dirimu?


Selalu aku tanyakan tentang dirimu. Pada ampas teh dan kopi. Pada putung dan abu rokok. Pada senar gitar yang berkarat dan putus. Pada ludah yang menempel di mikropon. Di mana dirimu? 


O, aku terus bertanya. Bertanya. Bertanya bertabrakan dengan tanda seru. Dengan koma. Dengan tanda petik. Dengan titik dua. Dengan titik. Aku belum menemukanmu. Siapa dirimu? Di mana dirimu? 


O, sepi menyelinap dalam ramai

O, ramai menyelinap dalam sepi


O, seperti menggelinding tanpa huruf yang lain

O, aku belum benar-benar menemukanmu


(Muncar, 070820)

04/08/2020

BANGKIT


BANGKIT

Tentu, jarum jam terus berdetak
dan berputar
Berdesakan dengan angka-angka luka
Kita selalu terbuai
memekikkan merdeka
selama 75 tahun

"apakah kita benar-benar merdeka?"

Tak perlu menunggu jawaban
dari rumput yang bergoyang
sebab luka itu luka kita

(Muncar, 040820)

23/07/2020

LELAKI PUPUS ITU BERNAMA SIDOPEKSO


LELAKI PUPUS ITU
BERNAMA SIDOPEKSO

Penyesalan tak akan bisa
mengembalikan waktu
yang terbunuh
ketidakpercayaan

Cinta pula yang menumbuhkan
: lelaki pupus
tertanam di hutan derita
yang kini disihir menjadi kota

Maka, darah tetap semerbak
di sungai kesetiaan
juga sepi
yang dibawa sampai mati

(Damtelu, 060717)
*Antologi Puisi, Timur Jawa : Balada Tanah Takat (Balai Bahasa Jawa Timur, 2017)

21/07/2020

SEPERTI MELIHAT CHAIRIL



SEPERTI MELIHAT CHAIRIL 

Berkaca di pelabuhan kecil
seperti melihat Chairil
Kapal dan perahu mempercepat senja
Angin bising sejak kemarin
sedang gudang, rumah tua
tak lagi mampu menampung cerita.

Nasib dan hidup apakah berkawan
jika kesunyian dianggap kekalahan
Waktu terus berlari bersama laju kereta
mengantar lagu derita kepada purnama

Malam semakin tambah kelam
sepi bertempik
mencium segala luka
segala yang tak dikenal 

Berkaca di pelabuhan kecil
seperti melihat Chairil
ingin merdeka
juga hidup seribu tahun lagi
menanti suara dari ranting cemara

(Muncar, 210720)
Gubahan dari puisi Chairil Anwar

28/06/2020

AFRIZAL MALNA


AFRIZAL MALNA

Aku tidak bisa jujur
Jujur bisa tidak aku
Tidak bisa jujur aku
Aku jujur bisa tidak
Bisa jujur aku tidak
Tidak aku jujur bisa
Jujur aku tidak bisa
Bisa tidak aku jujur
Sehelai rambut putih
nancap di kepalanya

(Muncar, 280620)

18/06/2020

TITIP PESAN


TITIP PESAN

A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K-L-M
Belajarlah mengeja huruf-huruf di dadamu. Ketika waktu menunjukkan bagian malam. Waspada cahaya. Meski hanya lilin kecil. Serupa ular melilit di luar mimpimu. Juga kepalamu. Dipenuhi kelenjar buah jeruk. 

N-O-P-Q-R-S-T-U-V-W-X-Y-Z
Nanti. Suatu ketika. Jika kau sudah dewasa. Rangkailah huruf-huruf menjadi kata. Menjadi frase. Menjadi kalimat. Menjadi paragraf. Menjadi teks. Duduklah serendah mungkin. Sambil menikmati secangkir kopi pahit.

(Muncar, 180620)
Poto Vemas Aditia

06/06/2020

DENYUT USIA


DENYUT USIA
: Nurma Listi

Rongga kepala membangun kamar. Denyut usia. Hidup yang melayani kehidupan. Doa adalah pesawat yang melesat ke langit. Membawa arsip-arsip harapan. Gelembung merah jambu. Bunga-bunga keniscayaan. Barangkali, kita harus yakin. Kipas angin memutar kesumat. Denting-denting kebahagiaan. Bukan hanya tentang cahaya membunuh gelap.

(Muncar, 050620)

01/06/2020

RIWAYAT LEMON TEA



RIWAYAT LEMON TEA

Angin menyandar pada malam yang tak bisa luntur oleh lampu-lampu. Rembulan bundar. Berkecipak pada segelas lemon tea. Aku tak tahu kemana segelas kopi. Juga asap rokok yang biasa menggenapi percakapan sepi.

Sekelebat bayanganku tiba-tiba muncul dari kertas lusuh. Puisi-puisi berkeringat. Menuliskan riwayat. Namun segelas lemon tea tetap hangat. O, perkenalan. Hujan. Angin. Malam. Memperluas persimpangan.

Segelas lemon tea. Tumpah pada dadamu. Ditumbuhi lumut-lumut harapan. Ciuman cuma batu-batu bibir. Mungkin hantu-hantu pada matamu yang sangsi. Di situ aku menemukan diriku yang lain. Puisi-puisi berkeringat. Membawaku kepada malam ini.

(Muncar, 010620)

25/05/2020

BERKARAT


BERKARAT

Dengan sepatu tua. Ia menyusuri pantai. Desir kembali membawa gelombang. Rembulan tembaga. Disepuhnya butiran pasir legam. Jejak melubangi waktu.

Burung-burung camar di sekitar udara. Mendengar. Menyaksikan dentang yang berkaitan. Mungkin berbisik. Memukul batu karang. 

Pecah berulang.

Ia lantas mengingat. Menghitung disepuhnya butiran pasir legam. Menyalakan rembulan tembaga. 

Dengan sepatu tua. Ia berdiri. Meski terbata-bata. Juga membaca cuaca. Percaya lagi kepada nasib.

Berkarat. 

(Muncar, 250520)
Poto Pinterest

23/05/2020

KUE DAN ORSON UNTUK LEBARAN


KUE DAN ORSON UNTUK LEBARAN 

Pekik takbir lindap di penghujung ramadhan. Ketakutan. Kecemasan. Meleleh pada lekuk wajah seorang ibu. Sebab jarak kini menjadi hantu. Rumah tua. Cat dinding mengelupas. Jendela berkarat. Selambu lusuh. Pintu yang berdebu.

Apakah ada yang akan mengetuk.

Tiada lebaran yang lebih tabah dari seorang ibu. Baju lebaran hanya sebuah mitos. Harapan adalah toples berisi kue dan ssbotol orson yang mengisi meja. Memasak opor ayam. Menunggu anak cucu. Membasuh khilaf hari-hari yang menumpuk.

Lebaran, apakah rembulan masih di atas kuburan.

(Kedunggebang, 230520)
Foto dari Pinterest

11/05/2020

BEBIJI MIMPI


BEBIJI MIMPI

Di jalan itu. Kita tanam bebiji mimpi. Bulan meleleh. Pada trotoar matamu. Tebing-tebing tumbuh curam. Biru di langit mewariskan kesumat.

Malam berbicara. Memperingatkan kita bagai klakson kendaraan tua.

Burung melepaskan bulu-bulu waktu. Pada sayapnya. Batu-batu tak pecah. Tak bergerak. Kecuali kita ajak menuju peristiwa. Roda terus menggelinding. Membagi penerimaan. Penolakan.

Hantu-hantu dalam buntalan ketakutan terus bernyanyi. Membisik di telinga.

Tetapi kita harus bergegas. Menanggalkan pakaian kita. Sama telanjang. Di jalan itu. Memanen bebiji mimpi yang kita tanam.

(Muncar, 110520)

09/05/2020

IA BERPUISI



Ia Berpuisi

Ia berpuisi. Siapa yang akan membaca dan mendengarya. Pertanyaan menggelembung. Tenggelam dalam sunyinya. Keramaian menawarkan secawan anggur. Setiap teguk bagaikan jawaban. Menunaikan dahaga. Kegamangan itu menggodanya untuk jatuh cinta. Bukan seorang perempuan. Sedangkan peristiwa demi peristiwa. Gaduh dalam diri. Keinginan memang sulit diterjemahkan. Tak semua mampu memahami. Keasingan bersekutu ke seluk jiwanya. Mampus. 

(Muncar, 090520)

06/05/2020

PERJALANAN SERIBU KOTA


Perjalanan Seribu Kota

Pencarian ke seribu kota. Perjalanan sampai pada lelah. Kemarau. Tiba-tiba disambut hujan airmata. Membasuh luka yang sering kau nyanyikan. Di stasiun, terminal, dan pelabuhan.

Kau menuliskan sepucuk surat rindu. Kenangan yang akan selalu kekal di taman asmara. Pertanyaan kepada seribu hati. Siapa sebenarnya yang kau nanti.

Rahasia janji-janji penantian. Waktu menafsirkan lain. Pecah. Hanya kau yang mampu menjawab sendiri. Menyanyi dalam sepi. Da dada sayang. Pulanglah. Selamat jalan. 

(Muncar, 060520)
Poto Pinterest

04/05/2020

SEBUAH PERTEMUAN DENGAN TEMAN



Sebuah Pertemuan dengan Teman


Aku tak melihatnya menghisap sebatang rokok pun. Tetapi percakapan tetap meluncur dari bibir kami. Percakapan yang menyeret ke sebuah ingatan gedung biru di kota itu. 

Bunga dan daun gugur di jalan. Matahari ssbentuk lampu kota. Dan kami adalah sisa-sisa puisi. 

Memang, malam begitu karib. Bangku warung kopi selalu memanggil. Sekadar mendengar derita yang baka bagi kesedihan yang patut untuk kami tertawakan.


(Muncar, 040520)

02/05/2020

MEMPERINGATI MEI


Memperingati Mei


1/
Butir-butir keringat menguap. Katanya ada surga yang akan menampung. Menjadi sungai susu. Di dunia, orang-orang adalah robot. Lehernya dicekik upah. Seorang penyair berbicara keadilan. Mati tersumpal kebutuhan. Terkubur di makam puisi. 

2/
Kemudian, retorika pendidikan menawarkan harapan. Jaminan masa depan. Matahari akan terbit dari kepala. Setelah mengunyah buku-buku. Anak-anak malah terasing dari gedung sekolahan. Perutnya kenyang mencerna realitas kehidupan.


(Muncar, 020520)

26/04/2020

BERINGSUT


Beringsut


Mataku terjaga. Beringsut ke dalam akuarium. Aku melihat seorang bayi laki-laki tersenyum. Seperti memanggilku bapak.

Tiba-tiba lampu mati.

Aku terlempar ke sebuah gelap. Kemudian meminjam pisau istriku untuk memecah sunyi. Menyingkirkan kecemasan yang selalu membuncah di kepala.

Musim ini masih asing

yang ditunggu belum tiba lagi. Aku terlempar ke sebuah gelap. Dalam semakin dalam. Dan istriku memanggil panggil namaku.


(Muncar, 260420)

18/04/2020

MENERJEMAHKAN SETELAH PERTEMUAN



Menerjemahkan Setelah Pertemuan 


Selamat datang kembali. 

Wajah-wajah begitu samar. Kereta telah melaju. Untuk apa kau mengejarnya? Sambil menahan lelah. Kau hanya akan mendapat bayangannya dari kejauhan.

Sebagaimanapun kau menyangkal. Resah dan gelisah itu perlahan tumbuh. Harapan. Keinginan. Mimpi. Tidak seperti lampu sorot di atas panggung.

Mungkin di sana, pertemuan dengan orang-orang itu berhasil membunuh sunyi. Tepuk tangan yang gemar menyapa. Adalah buaian-buaian sesaat.

Selamat datang kembali.

Di sini, mungkin kau harus memulai lagi. Dari awal. Tidak membunuh sunyi. Tidak menyemai keramaian. Sebab apa yang kau cari ada pada dirimu sendiri. 

Maka kenalilah!


(Muncar, 180420)

16/04/2020

FUS


Fus


Di rumah kecil itu. Tawa ganjil. Lumut-lumut perak. Merawat tangis yang terperam dari luka purba.

Ia memunguti daun-daun kersen yang berjatuhan di halaman. Begitu juga aku, belajar mencerna kata-kata miliknya.

"Malam jalang, tiga orang lelaki memanah rembulan".

Puisi-puisi sungsang. Gaduh di teras rumah. Berkejaran dengan kenyataan. O, derita begitu nikmat.

Warna semburat melukis wajahku. Tetapi ia bersikeras menuntunku ke alamat puisi.


(Kedunggebang, 160420)

14/04/2020

LESU



Lesu


Sepasang bola mata terlepas dari lubang keramaian. Burung-burung itu kemudian leluasa membawa berita kematian.

Lesu darah. Matahari pucat.

Langkah kaki tak mau sekongkol. Luka dan kawanannya betah tinggal di dada yang sesak.

Udara beracun menyebar ke seluruh kota. Kemana lagi gairah akan menghuni harapan.

Di surga, kebun apel meranggas. Sungai susu coklat mengering. Konon yang tersisa hanya neraka.

Membakar kamar-kamar kita.


(Kedunggebang, 140420)

12/04/2020

MEMORIES



Memories
untuk anak - anakku


Masih ku simpan di museum ingatan. Kebersamaan yang telah berganti. Tak akan menghapus masa-masa sulit. Jatuh tersungkur. Di kedalaman luka tanah asing. Aku hanya sebuah puisi. Begitu singkat menemani kalian. Belajar mengeja angka dan huruf kehidupan. O, masa. Berlembar-lembar matahari menggelinding terbit dan tenggelam. Kalian sekarang tak lagi bermain petak umpet.


(Muncar, 120420)

11/04/2020

JENDELA TUA


Jendela Tua


Menjelang sore. Aku mengintip dari kaca jendela tua. Bayangan anak-anak seperti diriku. Menimbun kenangan. Sepotong es krim meleleh bersama hujan. Tak ada payung. Tak ada yang menari.

Butir-butir hujan berkelindan. Halaman basah. Rumput-rumput liar membuka dada. Menerima dingin.

Aku mengintip dari kaca jendela tua. Tak ada pohon jambu air. Tetapi suara nenek masih terdengar. Menanam keniscayaan di belakang rumah. Bayangan anak-anak seperti kakakku. Membeli krupuk untuk lauk makan malam.

Waktu semakin berkarat. Angin tak lagi menerbangkan layang-layang. Capung bersarang di mata ibu yang kecoklatan. Bapak menyanyikan batuk dari dahi yang mengeriput.


(Kedunggebang, 110420)

09/04/2020

RHYME IN PEACE GLENN

Foto dari Google

Rhyme in Peace Glenn


Bilamana waktu tiba kau hanya ada untuknya. Abadi, tetaplah mewangi (memori). Semuanya kembali ke masa depan. 

Tak mungkin kau menepis bayangan. Bila memang semua datangnya begitu. Kini harus kau lewati. Sepi harimu tanpa siapapun. 

Selamat jalan. Kasihmu sampai di sini. Melodi rintihan hati yang berakhir di April.


(Muncar, 090420)
* judul lagu Bondan & Fade 2 Black
* gubahan penggalan lirik lagu Glenn Fredly

AFORISME



Aforisme

Aku tak harus bicara mendetail. Kita sedang bercinta. Dengan segala percikan. Senja pualam pada pelukan.

Di mataku muara jawaban dari pertanyaan.

Jika hantu-hantu masih berkunjung. Mengoyak kamar. Tak usah takut. Percayalah, ketakutan hanya akan melemahkan kita.

Sekali lagi, aku tak harus bicara mendetail. Kita sedang bercinta.

Maka di mataku muara jawaban dari pertanyaan

(Muncar, 090420)

08/04/2020

KESUNYIAN DI RAMBUTNYA YANG UNGU



KESUNYIAN DI RAMBUTNYA YANG UNGU

Ia telah merawat kesunyian di rambutnya yang ungu. Apalah lampu-lampu itu. Ia tak silau.

Dan riwayat puisi-puisi. Bahasa mata yang menyimpan naga.

: aku mabuk sendiri.

Ia tetap berjalan pada musim hujan. Juga kemarau. Entah, berapa helai rambutnya yang rontok.

Ia masih merawat kesunyian. Rumpang dadanya bukan sepotong apel.

(Muncar, 080420)

04/04/2020

KETAKUTAN

Poto dari Pinterest

KETAKUTAN

Tak ada lagi kecuali ketakutan. Bayangan membawa pedang. Menyerupai siapa saja. Seakan mengintai. Langkah yang panik dan curiga. Ketika keluar rumah.

Pikiran digiring, membebek pada kebenaran yang rancu. 

Bayangan membawa pedang. Menyerupai siapa saja. Seakan mengejar. Membunuh. Langkah yang panik dan curiga. Ketika keluar rumah.

Ketakutan diciptakan untuk menguasai kemanusiaan.

(Muncar, 040420)

DUDUKLAH

Poto dari Pinterest


DUDUKLAH

Duduklah, kita tunggu
memang purnama belum tampak
tetapi malam tak sedingin
dan segelap yang kau kira

Pada waktunya purnama itu
akan lahir dari rahim doa
melengkapi musim berikutnya

Aku pun sepertimu
meski kata-kata jarang terucap

Kita belum apa-apa
tak perlu menghitung kesabaran
semusim percintaan

Duduklah, kita tunggu
dengan rasa rindu
meneguk secangkir cinta
bersama-sama

(Muncar, 040420)

03/04/2020

ANTOLOGI PUISI SASTRA TIMUR JAWA "RISALAH TUBUH DI LADANG KEMARAU" TAHUN 2019




BLAMBANGAN

Aku masih mencium
aroma keganjilan
Bunga-bunga kelapa dan tebu
beterbangan di jalan

Aku juga memunguti reruntuhan
tembok dan bukit
berserakan di persawahan

Damarwulan meretas purnama
Wahita - Puyengan menangkap cahaya
asmara tumbuh bersimbah luka

Jejak pengkhianatan mereka
lebam dan Wungu
menilas di sekujur tubuh

dan celakalah Menak Jingga
jiwanya menggigil
tubuhnya menyulam sepi
kepalanya terpenggal
oleh Gada Wesi Kuning

Anyir darah muncrat
meluap ke Kali Wagud
Mengejakal sebagai cerita
yang diyakini keberadaannya
: Blambangan menyempit
menjadi sebuah desa

(Muncar, 2019)
*Blambangan, nama desa di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi

KEDUNGGEBANG

Berenang ke alir Setail
yang tiga kali
berpindah muara
aku temui diriku bermukim di situ
Di sebuah palung
wajah moyang sulit dikenali
aku tetap bersitahan
menghirup udara di rimbunan
pohon gebang

Hutan-hutan
tak menyisakan jejak
Semak Tanggulasri
terlantar dari catatan sejarah
Sawah-sawah dikeruk menjadi ceruk
lalu diolah menjadi pecah genting
yang berserakan pada halaman rumah
juga padi yang menguning meninggalkannya
maka tumbuhlah jeruk dan buah naga

Aku tak diwarisi apa-apa
kecuali puisi-puisi
yang ku tanak di dalam panci mimpi
menjadi keramaian,
palung sumur, dan tiga bendungan kecil
yang melintas pada suatu dusun

O, namun mangrove-mangrove
di timur desa
tempat burung-burung berkasih teduh
dan ikan-ikan bertelur
luput ku peluk
sebagai harapan masa depan
bagi anak cucu kami

(Muncar, 2019)
*Kedunggebang, nama desa di Kecamatan Tegaldlimo Kabupaten Banyuwangi.
** Pohon Gebang, tanaman sejenis palem.

LOPAMPANG

Laut resah
menggembalakan ikan-ikan
di relung paling dalam
Sejak tembok
yang mengelilingi kota
diruntuhkan
oleh serdadu bermata biru

sedangkan pelabuhan purba
hanya menjadi perayaan luka
para nelayan
menepikan perahu-perahu
yang menunggu angin
untuk membawanya kembali
mengarungi laut

Laut itu semakin resah
sejak sejarah dibakar
dan dipindahkan
ke kota yang baru

sedangkan pelabuhan purba
hanya menjadi perayaan duka
para nelayan
yang menguburkan bangkai-bangkai ikan
di matanya yang nanar

tetapi di balik bukit,
gunung berapi tertidur pulas
menyimpan muntahan
yang sewaktu-waktu
akan dilepaskan

(Muncar, 2019)

SEDEKAH PUISI UNTUKMU BANYUWANGI (DALAM RANGKA HARJABA KE-248 TAHUN 2019)



BERSOLEK

Orang-orang meminum
seribu cangkir kopi di Kampung Kemiren
udaranya dingin
menusuk ingatan kekasih
tentang musik jazz
yang dimainkan di Boom

Orang-orang juga menata ulang
puing-puing budaya
melalui rancangan kostum BEC
yang berlenggak-lenggok
di jalanan kota

Setara perayaan
yang mengobati kesedihan
seberapa jauh dan tinggi
burung baja raksasa
yang bersarang di Blimbingsari
terbang mengantarkan para tamu
yang datang dan pergi

Perahu hias melaju
dari kanal Bangorejo
menjemput harapan
penyanyi lagu Banyuwangian
yang terlarut dalam arus globalisasi

Aku tertegun,
orang-orang melarung resah
dengan bitek ke Laut Muncar,
Grajagan, dan Pancer
agar ikan segera melimpah
memenuhi laut yang kalut
sedang Tumpang Pitu termangu
menatap ombak

Tapi jangan khawatir
jaranan butha
akan terus menari
mendampingi seribu gandrung
di panggung modern

O, puisi
menulis senyum Lembah Ijen
semanis coklat Glenmore
selezat pecel pitik
senikmat rujak soto

para bakul berselimut gajah oling
dibatik dengan kecemasan

Merdu angklung
akan tetap terdengar
selama bambu-bambu di Gintangan
terjaga Seblang Olehsari-Bakungan
Kebo Alasmalang-Aliyan
Berdiri di barisan depan
mengusir malapetaka

Orang-orang Kalibaru
masih setia dengan dandangnya
seorang ibu
tak akan pernah kehabisan alasan
untuk menanak nasi tumpeng
yang akan diarak
mengelilingi kampung

Namun aspal yang dilewati ITDB
mengelupas dari jalanan
lahan-lahan kosong
ditanami pohon-pohon beton

Banyuwangi bersolek wajah festival
: esok entah bagaimana
aku tak tahu kelanjutannya

(Muncar, 2019)


HUSSS

Mantra-mantra telah ditebar
di sepanjang jalan
kota yang melahirkan penari
disihir menyingkirkan sepi

: gemerlap kota memuja keramaian

Mantra-mantra telah ditebar
di sepanjang jalan
kota menumbuhkan bunga harapan
yang dulu beringsut dan kusut.

: keindahan kota mendamba tepuk tangan

Mantra-mantra telah ditebar
di sepanjang jalan
Aku masih mengutuki keadaan
kotaku bermetamorfosa untuk siapa

: husss

(Muncar, 2019)


POTONGAN SEPI

Sesekali tengoklah
ke lorong-lorong yang lampunya
masih redup
agar potong sepi tak tumbuh lebat
memenuhi kenangan
yang setia dirawat oleh puisi-puisi

Bukankah kota ini sedang bersolek, An

Jangan kau melewatkannya
karena lorong-lorong itu
yang mengantarkanmu pada keramaian
juga pada gedung cahaya

Bukankah kota ini sedang bersolek, An

Sebagai awal mula
yang dilahirkan dari potongan sepi
jangan biarkan lorong-lorong itu
lampunya tambah meredup
agar kau tetap hidup dalam kenangan
yang selalu ramai
dirawat oleh puisi-puisi

Bukankah kota ini sedang bersolek, An

(Muncar, 2019)


SEUSAI PESTA

Mengemas sisa kemeriahan
kita berjalan pulang
bau parfummu
menyeruak ke luar udara
ditangkap angin
dari segala penjuru
Sesampainya di rumah
kita letakkan
sisa kemeriahan itu
pada buku catatan harian
musik pesta bergetar
di dadamu
lampu-lampu nyala
di kepalaku
sedang malam
memeram kesedihan
di saku baju dan celanaku

(Muncar, 2019)

CATATAN AGUSTUS 2024

  ilustrasi AI REVIEW KUPULANGKAN KEPERGIAN untuk Nadira Andalibtha   Sekumpulan puisi sedang asyik mengetik dirinya sendiri. Cafe yan...